Wednesday 20 April 2016


Silaturahim atau berkunjung ke rumah salah seorang teman atau saudara adalah perkara yang disunnahkan. Akan tetapi budaya saling mengunjungi itu kini semakin terkikis. Ada banyak penyebab terkikisnya budaya terpuji itu. Salah satunya adalah teknologi yang semakin maju. Hanya dengan gadget di genggaman seseorang bisa berkomunikasi dengan orang lain di tempat yang jauh. Hanya dengan gadget di tangan seseorang dengan mudahnya menemukan kawannya yang sekian lama “hilang”. Hanya dengan gadget di pangkuan seseorang bisa mengendalikan sebuah perusahaan besar, bertransaksi jual beli, atau melakukan hal-hal pelik lainnya. Terbukti, teknologi mampu mendekatkan yang jauh.
Dengan teknologi yang semakin maju itu, hampir semua orang beranggapan bahwa tak perlu lagi saling mengunjungi, toh kabarnya sudah bisa dipantau setiap hari. Tidak perlu lagi bertamu, toh dari jauh sudah bisa mendengar suaranya. Tak perlu lagi jauh-jauh repot-repot untuk bertemu, toh dari jauh pun sudah bisa saling bertatap. Dengan anggapan ini, akhirnya budaya silaturahim pun semakin memudar. Masing-masing orang sibuk dengan pekerjaannya, keluarganya, sekolahnya, kuliahnya. Tapi bukan itu sebenarnya yang menjadi penyebab. Tapi, mereka sibuk dengan gadgetnya, sibuk dengna dirinya.
Ada sebagian orang yang merasa teknologi tak mampu menjawab kerinduan untuk bertatap muka. Tak bisa menjawab kerinduan untuk tertawa bersama dalam satu tempat. Akhirnya ada yang memiliki inisiatif untuk bertatap muka. Ia ingin menghubungi saudaranya, karibnya, kawan lamanya untuk bertemu. Coba kita dengar bagaimana ia memulai percakapan melalui telepon genggamnya: “Kawan, bagaimana kabarmu? Lama kita tak jumpa. Bolehkah aku berkunjung ke rumahmu?”. Di seberang sana, terdengar lirih dari genggamannya kawannya menjawab: “Hai... Alhamdulillah baik. Boleh-boleh, silakan ke rumahku. Kira-kira ada perlu apa, ya?” Degub makin kencang jantung kawan yang berinisiatif menelepon tadi. Dia mau menjawab apa? Padahal ia begitu rindu dengan sahabatnya itu. Ada rasa kecewa, mungkin, mendengar kalimat terakhir yang dipertanyakan sahabatnya di seberang sana. Menjadikannya ingin sekali mengurungkan niat untuk bertamu. Akhirnya, kita dengar dia memutuskan: “Ooh..gak ada apa-apa kok.” Setelah itu, ia menutup telepon. Beberapa saat kemudian, terlihat ia duduk termangu. Mencari-cari alasan untuk menggagalkan rencana itu. Sekian menit tak juga ditemukan alasan yang tepat. Alasan untuk mengurungkan niat hendak berjumpa. Karena canggung. Karena ada rasa tidak enak di hati. Tepat ia rasakan setelah mendengar kalimat terakhir di ujung telepon itu. Akhirnya setelah termangu sekian waktu, ia tinggalkan lamunan. Ia beraktivitas kembali. Sejam, dua jam, tiga jam. Akhirnya ia mengetik pesan singkat: “Maaf, kawan. Besok tidak jadi ke rumahmu. Aku ada acara mendadak.”
Barangkali, kita pun pernah melakukan hal yang sama dengan kawan tadi. Oleh karena itu, ketika ada kawan atau saudara yang mengirim pesan atau telepon untuk berjumpa. Tak usahlah bertanya: “Ada perlu apa, ya?”. Itu termasuk adab dalam kita berkomunikasi dengan sahabat atau kawan yang lama tak berjumpa. Tak usahlah keluar dari mulut kita menanyakan maksud tujuan untuk apa ia mau bertemu kita. Entah dengan kalimat “Ada perlu apa, ya?”, “Mau apa?”, “Emangnya ada apa?”, dan semacamnya. Itu termasuk etika. Sebagaimana ketika kita mau berkunjung ke suatu rumah, setelah mengetuk pintu, maka etikanya adalah memalingkan muka atau menghadapkan wajah tidak ke dalam rumah. Itu etikanya. Itu akhlak baik yang harus dilakukan. Meskipun seandainya melakukan itu pun tidak ada masalah untuk kawan kita. Tapi, orang yang berakhlak baik itu selalu dirindukan. Orang yang berakhlak baik itu memiliki etika dan adab-adab yang semacam itu. Tak bertanya: “Ada perlu apa, ya?” dan semacamnya ketika ada kawan yang menghubungi dan menyampaikan niatnya untuk bertemu atau bertamu.

Saturday 9 April 2016

Ada seorang bapak yang berbincang dan menyampaikan keluhannya. Ia mengawalinya dengan pernyataaan bahwa shalat itu akan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Nyatanya banyak orang shalat tetapi tindakannya banyak yang menyimpang dari kebenaran atau banyak keji dan mungkarnya. Ketika kusampaikan bahwa itu adalah salah orangnya yang belum bisa melahirkan efek shalat dalam kehidupannya beliau pun menyetujuinya.  Artinya, bukan shalatnya yang salah atau Qurannya yang salah dengan menyatakan bahwa shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Akan tetapi orang yang shalatlah yang belum mampu membawa ruh shalat ke dalam kehidupannya. Bapak ini pun sepakat dengan argumen ini.
Kemudian bapak ini meneritakan juga bahwa suatu ketika anaknya jatuh sakit hingga parah. Beliau menyatakan bahwa selama ini ia aktif di pengajian-pengajian. Yang beliau resahkan adalah di saat beliau di rumah sakit menunggui anaknya yang sakit parah, tidak ada satu pun mereka yang ‘ustadz’ pengisi pengajian atau pemimpin kelompok pengajian itu yang datang ke rumah sakit untuk menengok menguatkan mental dan memberi dukungan padanya. Padahal itulah yang beliau butuhkan waktu itu. Bukan uang dalam amplop atau makanan yang dibawa penjeguk. Namun nyatanya mereka tidak nongol sama sekali. Tak tampak atang hidungnya. Malah justeru aktivis dari agama lain yang datang menjenguk bahkan mendonorkan darahnya.  Sungguh ini suatu yang ironis, kata beliau. Kalau misal keimanannya rapuh, bisa-bisa ia telah pindah keyakinan, begitu tutur beliau.
Begitulah fenomena umat dengan agama syumuliyah ini. Beliau meyakini bahwa yang paling paripurna adalah Islam. Beliau tak menyangkal itu. Tak ada kepercayaan lain yang seilmiah, selengkap, separipurna Islam, imbuhnya. Akan tetapi mengapa orang di luar sana yang malah kadang lebih islami. Mengapa orang islam sendiri malah terjebak pada perilaku-perilaku yang jauh dari nilai islam.
Begitulah, aku tidak membantah, menyangkal, atau membumbui uraian bapak ini. Mari kita tengok sejarah sejenak. Dulu, saat pernag dunia kedua, di sebuah Kamp Nazi, di sana setiap detik terjadi penyiksaan, kekejaman, dan tangisan tanpa henti. Mereka yang disekap ada yang berujar: “mengapa ini terjadi padaku?”. Ada pula mereka yang sayup-sayup terdengar menyuarakan: “Apa yang bisa dan seharusnya saya lakukan di dalam situasi yang semencekam ini?” akhirnya didapati kenyataan bahwa mereka yang menyuarakan yang pertama, rata-rata mati di tiang gantungan atau ruang pembantaian. Sementara mereka yang menyuarakan yang kedua, sebagian besarnya adalah yang bisa selamat. Dengan berbagai jalan.
Itulah dahsyatnya pemaknaan. Memaknai sebuah peristiwa atau keadaan yang dihadapi. Kembali ke bapak yang menuturkan ceritanya padaku tadi. Beliau memaknai shalat dan pengaruhnya pada kaum muslimin. Bahwa banyak kaum muslimin yang shalat tetapi belum bisa membawa ruh shalat itu dalam kehidupannya sehari-hari. Maka kemudian begitulah yang akan terlihat pada bapak itu. Atau, beliau memaknai bahwa shalat ternyata tidak bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar. Maka kemudian lambat laun membenarkan pernyataan: “buat apa shalat?”. Naudzubillah. Begitu bapak tadi mengalami musibah dengan sakitnya sang anak, lalu memberikan pemaknaan terhadap orang di sekelilingnya, para ustadz, kelompok pengajian yang beliau ikuti. Maka, begitu pula yang kemudian menjadi kebiasannya. Sangat jarang terlihat ikut menjenguk orang sakit. Bahkan malah berhenti pula menghadiri pengajian-pengajian. Begitu yang sempat bapak itu sampaikan dalam obrolan.
Pemaknaan melahirkan pemahaman dalam bawah sadar kita. Yang kemudian bisa saja diperturutkan untuk menjadi pembenaran perilaku. Selalu belajar. Di mana pun dan kapan pun. Mungkin itu penawarnya. Wallahu a’lam bishawab.

Tuesday 5 April 2016

Ketika gerbong kereta terus berjalan, tak ada alasan untuk meloncat keluar. Binasa. Meski lokomotif mengalami kendala gerbong akan tetap mengekornya. Penumpang gerbong memang tak pernah tahu apa yang terjadi di depan sana. Tetap di dalam gerbong kereta adalah keselamatan. Kereta akan tetap berjalan meski masinis harus diganti. Kereta akan tetap berjalan degnan siapa pun yang membersamai.
Kita hanyalah penumpang gerbong kereta. Tetap berada di atasnya akan menampaikan kita pada tujuan mana hendak kita singgahi. Selama perjalanan kita disuguhi pemandangan asri di luaran sana. Lihatlah sungai jernih airnya, persawahan subur dengan angin semilirinya, perkampungan damai nan asri, pegungungan yang kekar dan sejuk udaranya. Janganlah tergoda untuk meloncat keluar dari gerbong yang membawamu. Meski pemandangan di luaran begitu melambai. Turun berarti akan tetinggal. Turun berarti tak akan pernah sampai pada tujuan. Turun berarti akan menikmati pemandangan di luaran. Tetapi sesaat. Dengan berdiam di sana pasti akan ada rasa bosan. Sementara kereta telah jauh meningalkan. Dan dalam dirimu hanya ada penyesalan.
Saudaraku, badai pasti akan selalu menebarkan ancaman. Tapi dia akan berlalu. Malam memang mengancamkan pekat. Tapi fajar pasti menyingsing. Mendung tebal selalu menebarkan teror. Tapi ia akan terhapus oleh rintiknya hujan. Sekuat-kuatnya badai, jangan membuat goyah. Perkuatlah peganganmu. Perkokohlah ikatanmu. Bersabarlah. Maka kau akan jumpai indahnya cuaca selepas badai. Indahnya pagi selepas pekatnya malam. Segarnya hujan selepas mendung tebal yang menyeramkan.
Saudaraku, saat suatu pohon mulai besar. Ia mulai akan berbuah. Sunatullah, bahwa tidak semua buah itu bisa dipetik. Dari mereka akan ada yang jatuh tercecer. Ianya yang jatuh ada yang sejak masih sangat kecil. Ada yang saat mulai membesar. Dan ada pula yang hampir siap petik tetapi malah terjatuh. Berpegangan kuat pada dahan dan ranting adalah mutlak. Karena angin akan terus berembus. Melemahkan kita. Kita akan tetap kuat atau terjatuh?
Saudaraku. Perhatikanlah sebuah taman. Nikmatilah warna-warninya. Cium harumnya yang bermekaran. Rasakan semilir angin dan segarnya hawa di bawah pohon besarnya. Tapi, tahukah engkau bahwa berulang-ulang taman itu mengalami penataan. Ada yang dicabut. Ada yang diganti. Ada yang dipangkas daun-daunnya. Terkadang pun harus dirobohkan pepohonan yang besar. Itulah perawatan. Janganlah hanya karena sering merasakan rindangnya di bawah pohon besar lantas engkau memaki-maki saat pohon itu harus ditebang. Jangan engkau bersungut-sungut saat bunga kesukaanmu harus dipangkas. Jangan engkau mengharu biru saat tanaman yang engkau puja dicabut. Indahnya taman itu akan terjaga dengan hal-hal yang kadang engkau tidak suka. Bersabarlah.
Saudaraku. Kita ingat kisah Khalid. Semua tahu wibawanya memimpin pasukan. Setidaknya musuh gentar melihat bahwa Khalid yang memimpin. Ciut nyali musuh saat melihat bahwa pasukan yang dihadapinya dipanglimai Khalid. Saat seperti itu, sesungguhnya ibarat pedag yang terhunus tinggal menikamkan saja. Kuku yang tajam itu tinggal menancapkannya saja pada mangsa. Tapi tidak. Umar Sang Khalifah justeru memberhentikan Khalid saat dia sedang terhunus pedangnya. Andai Engkau sebagai pasukan, apakah akan keluar barisan dan lari dari pertempuran saat mendengar diundurnya Khalid? Padahal lari dari perang yang berkecamuk adalah dosa besar. Tsabatlah.
Saudaraku. Jangan karena ada sosok yang kau kagumi engaku berbaris rapi pada barisan. Tapi ikhlaskanlah karena Allah swt. Jangan karena mundur atau digantikannya pemimpin peleton Engkau menjadikannya pembenaran untuk keluar dari barisan. Jangan biarkan hawa nafsumu menemukan alasan untuk berhenti.  Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati-hati ini berpadu. Kuatkanlah ikatannya. Murnikan cintanya.

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!