Monday 22 August 2016

Tafakur terhadap Gunung

Kalau kita tinggal atau pergi ke kota Semarang, tentu akan tahu bagaimana kreativitas para perancang kota menata kawasan yang berbukit-bukit, bergunung-gunung menjadi sebuah kota yang cukup ramai. Ini luar biasa. Kalau kita berada di suatu kawasan di Semarang kemudian menengok ke kanan, kiri pasti akan melihat perbukitan yang penuh berjejal dengan bangunan. Suatu keindahan tersendiri. Mungkin juga akan didapati di kota-kota lainnya di Indonesia atau di dunia. Mengenai hal itu, jadi teringat dengan sebuah perenungan mengenai gunung.

Alkisah ada seorang anak yang menyampaikan rasa ingintahunya kepada bapaknya. “Pak, seperti apa ya wujud asli gunung itu?” Sang bapak tidak langsung memberi jawaban. Ia hanya berkata, “Okelah, mari kita berangkat ke suatu tempat untuk melihat bagaimana wujud asli gunung itu. Nanti di sana akan kamu lihat bagaimana wujud gunung itu.”

Kemudian akhirnya mereka berdua berangkat dengan mengendarai sebuah mobil tua. Perjalanan yang mereka lakukan lumayan lama. Jarak antara rumah yang mereka tinggali dengan gunung yang paling dekat saja bisa menempuh waktu selama empat jam dengan mengendari mobil tua itu. Jarak itu terhitug relatif jauh. Atau mungkin bisa dikatakan sangat jauh.

Ketika perjalanan yang mereka lakukan sudah menempuh hampir setengahnya, anak itu mulai girang lalu berteriak, “Asyik, gunungnya sudah terlihat.” Dari dalam mobil, sebuah gunung terlihat berwarna biru dengan begitu anggunnya. Puncaknya terlihat menjulang ke langit dan seolah menembus gugusan awan putih. “Ahai, betapa indahnya gunung itu,” kata sang anak. Ia begitu mengagumi keindahan pemandangan yang ia lihat.

Sementara, mobil pun terus berjalan. Jalanan yang mereka lalui tidak lagi datar dan lurus, namun mulai naik turun dan berkelok-kelok. Gunung pun mulai terlihat berubah. Ia kelihatan hijau karena dedaunan. Anak itu berkata lagi, “Oh, gunung itu berubah mejadi hijau. Ada pohon besar maupun kecil yang sangat banyak.”

Sambil menikmati indahnya pemandangan di kanan kiri jalan yang mereka lalui, anak itu teringat sebuah lantunan tembang: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Sampai akhirnya, mobil mereka hetikan pada sebuah tempat datar yang sangat tinggi. Tidak terlalu luas memang, hanya cukup untuk memarkir sebuah mobil. Dari tempat itulah mereka tidak hanya melihat wujud asli sebuah gunung, akan tetapi juga bisa menyentuh dan menapakkan kaki di sebuah gunung. Mereka kini sudah berada di puncak salah satu gunung yang barangkali terlihat dari rumah mereka tetapi tak terlalu diperhatikan gunung yang mana pasnya.

“Gunungnya mana, Pak?” anak itu bertanya keheranan kepada bapaknya. “Inilah wujud gunung yang biasa kamu lihat itu, Nak. Tanah yang kita tapaki ini lah gunuh itu,” jawab sang bapak sambil menjejak-jejakkan kakinya ke tanah. Anak itu belum begitu mengerti. “Ini? Tanah seperti ini? Hanya tanah berkerikil dan bebatuan serta rerimbunan pohon ini? Itu ada sungai kecil pun keruh?”

Sang bapak mengangguk meyakinkan. Ia melihat wajah kecewa yang sangat mendalam pada diri anak kesayangannya. “Sayang, ayo kita pulang. Mari kita nikmati saja gunung-gunung ini dari kejauhan, dari rumah kita. Barangkali, dari sanalah justeru kamu akan menikmati bahwa gunung itu indah…”

***

Kawan, ketika di antara kita sudah menjadi seolah ‘gunung-gunung’ di suatu masyarakat, yang wajahnya selalu dilihat oleh orang, suaranya selalu didengar orang, pasti akan muncul penasaran dari sekian banyak orang yang selalu melihat kita dan selalu mendengar kita berbicara. Mereka juga seringkali ingin tahu, seperti apakah wujud dan sosok kita dalam keseharian ketika dilihat dari dekat: tutur katanya, kebiasaannya, perilakunya, kehidupannya, dan hal-hal yang lain.

Namun sayang, ‘gunung’ yang kelihatannya indah jika dilihat dari kejauhan itu benar-benar memiliki keindahan yang hakiki. Seolah mereka hanya memoles diri agar terlihat indah dari jauh tapi tidak membangun diri dengan yang indah. Para pengagum yang ingin lebih mendekat kepada ‘gunung’ itu pun akhirnya pasti akan menelan kekecewaan. Ternyata, ‘gunung’ yang selama ini terlihat indah itu, menyimpan banyak cacat. Menyimpan banyak keburukan. Apa yang selama ini terlihat sebagai suatu keindahan ternyata semu.

Maka, mari kita membangun ‘gunung-gunung’ diri agar benar-benar indah seperti saat dilihat dari kejauhan. Jangan membiarkan orang-orang yang selama ini kagum, menjadi kecewa. Tentunya tak ingin banyak orang mengatakan tentang kita, “Tak usah mendekati dia. Ia hanya indah jika dilihat dari kejauhanlah …”
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!