Wednesday 27 July 2011


Wajah SMP Negeri 4 Pracimantoro











Goa Putri Kencana Wungu, dekat sekolahku...

Sunday 24 July 2011

Oleh: Anis Matta

Pada mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menantikan pandanganmu. Jiwa membangun simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.

Begitulah cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu: jiwa dan raga.

Tapi selalu ada bias disini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas ditengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.

Biasnya adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya: jiwa dan raga. Jangan pernah pakai “atau” disini. Pakailah “dan”: kata sambung yang menghubungkan dua pesona itu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan fisik. Tapi juga dengan fakta bahwa daya tahan pesona fisik kita ternyata sangat sementara. Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang pecinta jika mereka berumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan di atas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi. Tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan. Begitulah pesona jiwa perlahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetik fisik: lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua manusia bisa tetap membangun sebuah jangka panjang sesungguhnya adalah kebijakan jiwa mereka bersama.

Seperempat abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan menikah lagi.

Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya,“ kata Rasulullah saw.

Terlalu agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang menerangi jalan para pecinta sepanjang hidup. Pengalaman di sekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada “atau” bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi “atau”. Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menanti mangsa dalam diam.

Saturday 23 July 2011

Materi PAI SMP Kelas 7 Semester 1

Standar Kompetensi : 5. Memahami ketentuan-ketentuan taharah.

Kompetensi Dasar : 5.1 Menjelaskan perbedaan hadas dan najis.

5.2 Menjelaskan ketentuan-ketentuan mandi wajib.

A. Thaharah

1. Pengertian Taharah

Taharah menurut bahasa, artinya bersih atau bersuci, sedangkan menurut istilah, taharah adalah menyucikan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar selalu dalam keadaan bersih dan suci. Orang-orang yang sanggup menjaga kesuciannya sangat dicintai Allah.

2. Macam-MacamTaharah

Taharah dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Taharah dari najis, yang berlaku untuk badan, pakaian, dan tempat. Cara menyucikannya dengan air yang suci dan menyucikan, yang biasa disebut air mutlak.

b. Taharah dari hadas, yang berlaku untuk badan, seperti mandi, wudu, dan tayamum.

3. Macam-Macam Air

Berdasarkan hukum syar‘i, air dibagi menjadi:

a. Air mutlak, yaitu air yang suci dan menyucikan. Air tersebut dapat digunakan untuk berwudu atau bersuci, masak, minum, dan mandi.

Contohnya: air hujan, air laut, air sumur, dan air yang keluar dari mata air.

b. Air musta‘mal, yaitu air yang suci namun tidak dapat menyucikan. Misalnya: air kopi, air teh, dan air yang sedikit yang sudah berubah.

c. Air musamma, yaitu air yang suci dan menyucikan, namun hukumnya makruh digunakan untuk bersuci. Misalnya: air yang terjemur oleh matahari dalam bejana.

d. Air mutanajis, yaitu air yang tidak dapat dipergunakan untuk berbagai hal, baik untuk konsumsi atau untuk bersuci.

4. Macam-Macam Najis

Dalam ilmu fikih, najis dibagi menjadi empat, yaitu:

a. Najis berat atau najis mugallaÊah, yaitu najis yang harus dicuci sampai tujuh kali dengan air mutlak dan salah satunya menggunakan debu yang suci atau air yang dicampur dengan tanah. Contohnya air liur anjing.

b. Najis sedang atau najis mutawassiÓah, yaitu najis yang dicuci dengan cara menggunakan air mutlak sampai hilang bau dan warnanya.

Najis mutawassiÓah dibagi menjadi:

Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang masih terlihat zatnya, warnanya, rasanya, maupun baunya. Cara menyucikannya dengan menghilangkan zat, warna, rasa dan baunya.

Najis hukmiah, yaitu najis yang kita yakini adanya tetapi tidak nyata zatnya, baunya, rasanya, dan warnanya, seperti air kencing yang sudah mengering.

c. Najis ringan atau najis mukhaffafah, yaitu najis yang dapat disucikan dengan memercikkan atau menyiram air di tempat yang terkena najis. Contohnya: air kencing bayi yang belum makan apa-apa kecuali air susu ibu.

d. Najis yang dimaafkan atau najis ma‘fu, yaitu najis yang dapat disucikan cukup dengan air, jika najisnya kelihatan. Apabila tidak kelihatan tidak dicuci juga tidak apa-apa, karena termasuk najis yang telah dimaafkan. Contohnya : darah nyamuk.

5. Pengertian Hadas

Secara bahasa, hadas berarti berlaku atau terjadi. Sedangkan menurut istilah sayr‘i, hadas berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang harus bersuci. Orang yang berhadas dan mengerjakan salat, maka salatnya tidak sah.

Rasulullah saw. bersabda:

Artinya: “Allah tidak akan menerima salat seseorang dari kamu jika berhadas, sehingga berwudu.” (HR. al Bukhari dan Muslim).

6. Macam-Macam Hadas

Hadas dibagi menjadi dua yaitu hadas kecil dan hadas besar.

a. Hadas kecil

Hal-hal yang termasuk hadas kecil antara lain:

sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur, meskipun hanya angin,

bersentuhan langsung antara kulit laki-laki dengan perempuan yang sudah balig dan bukan muhrimnya,

menyentuh kemaluan dengan telapak tangan,

tidur dalam keadaan tidak tetap, dan

hilang akalnya, seperti mabuk, gila, atau pingsan.

Adapun cara meng hilangkan hadas kecil adalah dengan bewudu atau tayamum.

b. Hadas besar

Hal-hal yang termasuk hadas besar antara lain:

bertemunya alat kelamin laki-laki dan wanita, baik keluar mani maupun tidak,

keluarnya darah haid dan nifas,

keluar air mani, baik ada sebabnya maupun tidak seperti mimpi, dan

orang yang mati.

Adapun cara menghilangkan hadas besar adalah dengan mandi wajib atau janabah.

B. MANDI WAJIB

Mandi wajib adalah mengalirkan atau meratakan air yang suci dan menyucikan ke seluruh tubuh disertai niat dengan tujuan menghilangkan hadas besar. Niat inilah yang membedakan antara mandi biasa, mandi sunah, atau mandi wajib. Mandi wajib juga dikenal dengan mandi jinabah atau janabah.

1. Rukun Mandi Wajib

Rukun mandi wajib yaitu:

a. niat, artinya berniat atau menyengaja menghilangkan hadas besar,

b. meratakan air ke seluruh tubuh, dan

c. membersihkan kotoran yang melekat atau mengganggu sampainya air ke badan.

2. Sebab-Sebab Mandi Wajib

Hal-hal yang menyebabkan seseorang mandi wajib, yaitu:

a. bersetubuh, baik keluar mani atau tidak,

b. keluar mani,

c. nifas, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan sesudah melahirkan,

d. haid, yaitu bagi wanita telah berhenti dari haid, maka ia wajib mandi besar, dan

e. meninggal dunia, orang Islam yang masih hidup wajib memandikan orang Islam yang meninggal dunia, kecuali mati syahid.

3. Sunah-Sunah Mandi Wajib

Sunah-sunah mandi meliputi:

a. membaca basmalah,

b. berwudu sebelum mandi,

c. menggosok-gosok seluruh badan,

d. mendahulukan anggota badan yang kanan daripada yang kiri, dan

e. dilakukan secara berturut-turut.

4. Cara Mandi Wajib

Cara mandi wajib meliputi:

a. membasuh kedua tangan terlebih dahulu dengan niat ikhlas karena allah swt.,

b. membasuh kemaluan dengan tangan kiri, kemudian menggosokkan tangan ke tanah atau yang lain (jika sekiranya ada bekas darah atau air mani yang melekat di tangan),

c. berwudu,

d. memasukkan jari-jari dengan dibasuhi air ke pangkal rambut,

e. menuangkan air ke atas kepala tiga kali, diteruskan seperti mandi biasa,

f. membasuh kedua kaki (mendahulukan kaki kanan daripada yang kiri).

Materi PAI SMP Kelas 7 Semester 1

Standar Kompetensi: 4. Membiasakan perilaku terpuji.
Kompetensi Dasar: 4.1 Menjelaskan pengertian tawaduk, taat, kanaah, dan sabar.
4.2 Menampilkan contoh-contoh perilaku tawaduk, taat, kanaah, dan sabar.
4.3 Membiasakan perilaku tawaduk, taat, kanaah, dan sabar.

1. Pengertian Tawaduk
Secara bahasa, tawaduk artinya rendah hati. Sedangkan menurut istilah, tawaduk berarti sikap dan perilaku yang suka rendah hati baik terhadap sesama manusia maupun terhadap Allah.
Tawaduk bukan berarti rendah diri menghinakan diri atau menganggap diri kita tidak punya kemampuan apa-apa. Akan tetapi tawaduk merupakan perilaku rendah hati, tidak sombong, tidak congkak maupun tidak angkuh. Orang yang berperilaku tawaduk adalah orang yang dapat menjaga diri dari sesuatu yang bisa merugikan dirinya, orang lain, dan masyarakat. Allah swt. berfirman:

Artinya: “Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.” (Q.S. Al Furqän/25: 63).
Nabi saw bersabda:

Artinya: “Dari ‘IyaÑ bin Himar berkata; Rasu-lullah saw. bersabda “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku,” Bertawaduklah supaya tidak ada seorangpun yang menganiaya terha-dap lainnya, dan tidak ada seorang pun yang menyombongkan diri terhadap lainnya.” (H.R. Muslim)
Kebalikan dari tawaduk adalah sifat takabur (sombong), yakni sifat yang membanggakan diri karena menggagap dirinya lebih baik, lebih kaya, lebih pandai sehingga meremehkan orang lain.
2. Contoh Perilaku Tawaduk
Perhatikan contoh perilaku tawaduk berikut ini!

3. Ciri-Ciri Orang yang Tawaduk
Ciri-ciri orang yang tawaduk antara lain:
a. tidak menonjolkan dirinya sendiri,
b. menghormati dan menghargai orang lain,
c. menjunjung tinggi orang yang berstatus sosialnya lebih rendah atau sederajat,
d. menghormati orang yang berilmu,
e. mau duduk berdampingan dengan orang lain tanpa memandang status sosial,
f. tidak malu atau gengsi terhadap apa yang dimiliki atau yang dipakainya.
4. Akibat Perilaku Sombong
Kebalikan tawaduk adalah sombong. Sifat ini akan berakibat tidak baik, seperti:
a. menimbulkan suatu perpecahan dalam pergaulan,
b. dibenci oleh Allah, teman, dan lawan,
c. di hari kiamat tidak disapa serta tidak mendapat rahmat dari Allah swt.,
d. akan terjerumus ke neraka,
e. menghilangkan kepercayaan orang lain,
f. tidak akan masuk surga.

1. Pengertian Taat
Secara lugah, taat berasal dari tä‘a atau aÓä‘a yang artinya patuh. Sedangkan menurut istilah, taat adalah suatu perilaku atau perbuatan yang patuh dan taat terhadap segala peraturan yang ada, baik aturan agama ataupun aturan yang berasal dari masyarakat (adat istiadat) maupun dari negara (undang-undang).
2. Macam-Macam Ketaatan
Ketaatan yang diatur dalam Al Qran ada tiga macam, yakni ketaaatan kepada Allah, rasul-Nya, dan ulil almri. Namun ketaatan yang utama bagi orang mukmin adalah ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.
Allah swt. berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An Nisä’/4: 59).
a. Taat kepada Allah
Taat kepada Allah artinya patuh menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Taat kepada Allah disebut juga takwa. Sedangkan orang yang bertakwa disebut Muttaqin. Ketaatan kepada Allah bukan hanya akan membawa manusia selamat di dunia, dan akhirat, tetapi juga akan mendapat rahmat Allah swt.
Allah swt. berfirman:

Artinya: “Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Q.S. Äli ‘Imrän/3: 132)
b. Taat kepada Rasul Allah
Rasulullah merupakan manusia pilihan yang telah diberi wahyu oleh Allah untuk disampaikan kepada umatnya, sebagai pedoman dan petunjuk untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Orang mukmin wajib menaati dan mengimani rasul Allah serta menjalankan sunah-sunahnya, agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Wujud dari perilaku taat kepada rasul secara benar adalah menerima dan menjalankan apa-apa yang diperintahkannya, serta meninggalkan semua larangannya.
Allah swt. berfirman:

Artinya: “... Dan apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ...” (Q.S. Al Åasyr: 7).
c. Taat kepada ulil amri
Ulil amri adalah pihak-pihak yang diberi amanah oleh rakyat untuk mengatur jalannya pemerintahan, membuat undang-undang dan melindungi hak-hak rakyat dalam sebuah negara.
Taat kepada Ulil Amri berarti menghormati setiap kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk kesejahteraan rakyat. Wujud ketaatan kepada pemerintah misalnya membayar pajak, melaksanakan peraturan-peraturan dan lain-lain. Batasan taat kepada ulil amri adalah kita hanya terhadap aturan-aturan pemerintah yang tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Nabi saw. bersabda:

Artinya: “Tunduk dan patuh wajib atas seorang muslim dalam perkara yang disenangi atau dibenci, selama tidak diperintah dengan kemaksiatan. Apabila diperintah dengan kemaksiatan maka tidak diperkenankan untuk tunduk dan patuh.” (H.R. al Bukhari).

Thursday 21 July 2011

Oleh Anis Matta*
RASANYA PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan itu?

Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk.

Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal, organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan.

Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan dakwah, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro.

Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani "pengalaman keikhlasan" seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang sebenarnya merupakan sekedar "lintasan pikiran" yang muncul dalam benak kita selama rapat berlangsung.

Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh.

Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar tawadhu. Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."

Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya demikian.

Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt. Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., "Umatku tidak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.

Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi memang lebih benar.

Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi, seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik daripada kita menang tapi kemudian bercerai berai. Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman kepada-Nya.

Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt. sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya.

Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah kita.

Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna tsiqoh (kepercayaan) kepada jamaah.

Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.

Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak. ***



*diambil dari buku Anis Matta: 'Menikmati Demokrasi' (cetakan 1, Juli 2002)

nb: Ustadz Anis memang seorang yang briliant, visioner. Jauh lama sebelum 'hiruk pikuk' prahara jama'ah seperti yang sekarang ini, beliau sudah memberi guide bagi jama'ah ini agar tetap eksis, kokoh dalam menghadapi 'segala kemungkinan yang bakal terjadi'.

Wednesday 20 July 2011

Oleh: Cahyadi Takariawan
---
Engkau aktif dalam kegiatan dakwah? Engkau telah bekerja melakukan berbagai upaya menebarkan kebaikan di daerah? Jika ya, maka mungkin engkau pernah mendengar ucapan-ucapan seperti ini, entah dari siapa.

“Luar biasa aktivitas anda membesarkan dakwah di daerah. Sayang sekali, senior anda yang di pusat justru mengkhianati perjuangan anda. Mereka telah mengejar harta, tahta dan wanita, dan melupakan tujuan perjuangan. Lalu, untuk apa anda tetap berpayah-payah di daerah?”

“Sia-sia semua yang kalian kerjakan. Hasilnya dirampas oleh sebagian kecil elit di antara kalian. Apa kalian masih akan bertahan?”

“Lihatlah apa yang terjadi pada kalian. Setiap hari bertabur berita jelek di media. Itu menandakan aktivitas dakwah kalian sudah jauh menyimpang, karena kerakusan para pemimpin kalian. Mereka telah gila dunia dan melupakan akhirat”.

Semua kata-kata itu keluar begitu saja dari mereka yang tidak mengerti makna ucapannya sendiri. Seakan-akan semua yang diucapkannya adalah kebenaran. Seakan-akan yang disampaikan adalah data dan fakta yang telah teruji kebenarannya, lalu semua yang mendengarkan diharapkan segera beriman. Seakan-akan semua yang mereka ungkapkan adalah dalil pembenaran untuk meninggalkan gelanggang perjuangan.

Alkisah, seorang kader dakwah merasa tengah mengalami titik kejenuhan. Banyak beban dakwah dan beban kehidupan harus dihadapi sendiri. Ia mulai merenung, berpikir, dan akhirnya merasa semakin lemah. Aktivitas dakwah yang semula menumpuk setiap hari, perlahan mulai dikurangi. Dikumpulkannya “kata orang” tentang pemimpinnya. Dia belanja isu tentang kehidupan para pimpinan dakwah. Cukup banyak sudah isu dikumpulkan, semua semakin melemahkan semangat dakwahnya. Ia mulai menghitung ulang keterlibatannya dalam aktivitas dakwah, dan mempertimbangkan langkah mundur ke belakang.

Di hadapanku ia curahkan semua isi hatinya. Sesak, gumpalan beban menghimpit dada dan hatinya. Lelah, penat, jenuh, kecewa, sedih, bercampur aduk…. Air matanya tumpah ruah saat bercerita tentang kepedihan hatinya. Aku merasakan bendungan perasaan itu ambrol, air bah kekecewaan mengalir sangat deras tidak terbendung. Dahsyat, luar biasa….

Aku segera menceritakan makna ikhlas bagi kader yang berada di lapangan. Aku hanya kader lapangan, waktuku habis di jalan, bukan di kantoran. Aku tidak bisa menjelaskan dengan rangkaian teori yang “tinggi-tinggi”. Ilmuku adalah ilmu lapangan, ilmu aplikasi, berisi pengalaman dan akumulasi rekaman kejadian setiap hari. Teoriku adalah teori kehidupan, yang aku dapatkan langsung dari medan perjuangan. Merekam detail hikmah yang muncul dari perjalanan di sepanjang wilayah dakwah.

Saudaraku, aku ajak engkau melihat benih-benih yang kita semai di ladang-ladang dakwah di berbagai wilayah. Subhanallah, benih itu tumbuh subur menghijau, membuat takjub siapapun yang melihat dan merasakan detak pertumbuhannya. Kita sirami benih itu, dan kita rawat dengan sepenuh cinta dan kasih sayang. Perasaan lelah dan jenuh menghadapi berbagai kendala, segera hilang sirna dengan sempurna, saat menyaksikan hasil semaian di ladang-ladang dakwah kita.

Rasa jenuh dan lelah bisa hinggap pada hati dan pikiran siapa saja. Pekerjaan rutin sehari-hari membuat kita mudah mengalami kejenuhan, apalagi jika yang dihadapi hanya koran, berita televisi, internet dan kata orang. Dunia disempitkan oleh media, bukan diluaskannya. Lalu apa yang menyemangati kita ? Mari berjalan menikmati hijaunya lahan-lahan semaian dakwah yang telah kita rawat lebih dari dua puluh tahun lamanya. Berjalan, bertemu kader-kader dakwah di setiap daerah, menyapa dan membersamai aktivitas mereka. Subhanallah, lihat wajah-wajah cerah yang tampak di setiap pertemuan.

Di sebuah mushalla kecil di kecamatan Piyungan, Bantul, Yogyakarta, aku merasakan optimisme dan membuncahnya harapan. Di sebuah ruang sederhana di Gendeng, Baciro, Kota Jogja, aku menjadi saksi kesetiaan tanpa jeda. Di sebuah gedung pertemuan di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, aku merasakan detak jantung penuh cinta. Di sebuah ruangan di Baubau, Sulawesi Tenggara, aku merasakan getar kesadaran akan kemenangan. Di sepanjang bumi Sumatera aku melihat dan merasakan pancaran semangat yang membara. Di berbagai belahan Kalimantan aku mendapatkan suasana gelegak kehangatan tak terkalahkan. Di Nusa Tenggara Barat, yang muncul hanyalah optimisme menghadapi medan perjuangan. Di Maluku, kepal tangan yang terangkat kuat menandakan tak akan menyerah menghadapi kendala dakwah. Di Papua, minoritas bukanlah alasan untuk merasa lemah dan kalah.

Lalu apa yang melemahkanmu, saudaraku ? Berjalanlah, dan semua wilayah ini adalah bumi dakwah, tempat kita menyemai cinta. Bergeraklah, dan semua daerah ini adalah bumi perjuangan, tempat kita menanamkan harapan. Dimanapun engkau berjalan, dimanapun engkau bergerak, akan merasakan kesegaran udara yang sangat jernih. Tak ada polusi di sana, polusi itu justru ada di sini, di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu menggambarkan betapa besar sesungguhnya ukuran cinta dan harapan yang ada pada dada para kader di sepanjang wilayah dakwah. Tulisan yang saya khawatirkan justru menyempitkan makna kesetiaan dan keikhlasan setiap titik perjuangan kader di seluruh bumi Allah.

Maka bergeraklah, berjalanlah, beraktivitaslah bersama kafilah dakwah. Rasakan sendiri, lihat sendiri, dengarkan sendiri kata-kata mutiara yang muncul dari lapangan. Diam telah membuatmu merasakan kejenuhan. Tidak bergerak menyebabkan pikiranmu dipenuhi pesimisme dan kegalauan. Tidak berkegiatan membuat hatimu selalu dalam kebimbangan dan keputusasaan. Bergeraklah di lapangan dakwah, engkau akan menemukan sangat banyak harapan dan untaian mutiara kesabaran.

Jadi, apa yang melemahkanmu, saudaraku ? Lihat sendiri, dengan mata kepalamu sendiri, bagaimana wajah-wajah penuh kecintaan akan selalu engkau dapatkan. Kemanapun engkau pergi, yang engkau temui adalah benih-benih tersemai dengan pupuk keimanan dan keutamaan. Kemanapun engkau melangkah, yang engkau dapatkan adalah buah-buah yang terawat oleh cinta dan kasih sayang para pembina. Para pembina telah mencurahkan cinta, telah menorehkan kasih, telah memahatkan sayang di hati sanubari semua benih dakwah di sepanjang daerah.

Bisakah engkau menanamkan bibit-bibit kebencian, kemarahan, dendam dan kesumat, lalu menyuburkannya hanya dengan pupuk isu serta gosip sepanjang masa? Bisakah engkau menciptakan lahan-lahan yang akan tersuburkan dengan fitnah, caci maki dan sumpah serapah ? Siapa yang akan bisa memberikan cinta, jika yang engkau keluarkan untuk mereka adalah dendam membara ? Siapa yang akan memberikan kesetiaan, jika yang engkau tanam adalah benih-benih permusuhan ? Siapa yang akan memberikan ketulusan, jika yang engkau taburkan adalah kebencian ?

Jadi, apa yang menggelisahkanmu saudaraku ? Seorang kader dakwah di Paniai, Papua, menitipkan pesan penting saat aku kesana. “Yang sangat kami perlukan adalah kehadiran para Pembina. Kami sangat optimis dengan medan dakwah di sini”. Subhanallah, seperti terbawa mimpi. Paniai bahkan tidak engkau kenal wilayahnya ada dimana. Engkau tidak mengetahui bahwa di tempat yang sangat jauh dari keramaian kota itu ada banyak harapan untuk kebaikan. Benar kan, di sana tidak ada polusi? Karena polusi itu ada di sini, di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu merangkum kuatnya kecintaan dan tulusnya harapan dari kader-kader di daerah.

Di sebuah ruang sederhana, di Wamena, Papua, aku mendapatkan dan merasakan gelora semangat yang sedemikian membahana. Demikian pula di Merauke. Sekelompok kader telah bekerja melakukan apa yang mereka bisa, dan ternyata lahan-lahan kering itu sedemikian suburnya. Tak dinyana, semula kita membayangkan akan kesulitan menanam benih di lahan yang teramat kering kehitaman. Namun taburan benih tak ada yang sia-sia. Semangat demikian tinggi mengharap kehadiran kita untuk menyaksikan pertumbuhan, karena benih telah dirawat dan dipelihara dengan sepenuh jiwa.

Di sebuah pojok ruang di Manokwari, Irian Jaya Barat, tak kalah semangat menjalani aktivitas perjuangan. Beberapa gelintir generasi dakwah, telah menanamkan benih-benih di berbagai wilayah. Siapa menyangka ternyata kecintaan dan kesetiaan yang tulus dimiliki oleh mereka yang tinggal jauh di ujung Indonesia. Genggaman tangan sangat kuat dan hangat masih aku rasakan, seakan tak mau melepaskan. Bahkan mereka menghantarkan aku hingga di depan tangga pesawat terbang. Kisah-kisah heroik aku dapatkan selama menemani mereka menyemai benih di bumi Irian Jaya Barat. Insyaallah pahala berlipat telah Allah limpahkan untuk mereka.

Jadi, hal apa lagi yang meresahkanmu, saudaraku ? Pernahkah engkau mendengar Polewali, Majene, Mamuju dan Mamasa ? Mungkin engkau belum pernah mencarinya di dalam peta. Itu nama-nama kabupaten yang ada di Sulawesi Barat, propinsi yang terbentuk setelah dimekarkan dari Sulawesi Selatan. Aku telah melawat berhari-hari lamanya, menemukan bongkahan semangat yang sangat potensial. Sangat banyak luapan energi yang siap untuk mencerahkan wilayahnya. Mereka menjemput kesetiaan dengan melakukan sangat banyak kegiatan, di tengah berbagai keterbatasan yang mereka hadapi.

Aku juga mengunjungi dan menyapa kader-kader di Mataram, Lombok, Sumbawa, Dompu dan Bima. Luar biasa semangat kader-kader dakwah di sana. Di sudut-sudut ruangan, aku menemukan kenyataan cinta itu hidup segar, bersemi indah dan terawat dengan cermat. Tangan-tangan halus para pembina telah membentuk karakter yang kuat pada para aktivis dakwah, sehingga mereka terus menerus bekerja tanpa mengenal lelah, padahal tidak ada yang memberi upah. Hanya Allah yang menjadi tumpuan harapan kerja mereka. Luar biasa.

Di sepanjang ruas jalan yang aku lalui di Balikpapan, Samarinda, Kutai Timur, Kutai Kertanegara, Penajam, Berau, yang terhirup adalah udara jernih, bukti kemurnian tujuan perjuangan. Demikian pula saat aku menapaki Banda Aceh, Pidie, Lhokseumawe, Langsa, Meulaboh, yang terasakan hanyalah semangat berkontribusi tanpa henti. Para kader telah bertahan di medan perjuangan dengan segenap kecintaan dan harapan. Tak ada polusi di sana, karena polusi itu adanya di sini. Di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu mengkabarkan dengan tepat betapa keutuhan dan ketulusan langkah perjuangan kader-kader dakwah di sepanjang wilayah. Sepanjang mata memandang, yang tampak adalah dinamika berkegiatan, berlomba melakukan hal terbaik yang bisa mereka lakukan, berlomba mencetak prestasi dan karya besar bagi bangsa dan negara.

Maka, apa yang meragukanmu, saudaraku ? Suara-suara itu, tuduhan-tuduhan itu, kata-kata itu ? Aku bukan seseorang yang berwenang menjelaskan. Maka aku tak mau mendengarkannya, karena sama sekali tidak ada artinya bagiku. Aku hanyalah seorang kader lapangan. Waktuku habis di jalan, bukan di kantoran. Aku merasakan gairah pertumbuhan, aku mendengarkan degup jantung penuh kecintaan, aku mencium harum aroma kemenangan, aku melihat gurat keteguhan, aku menikmati cita rasa kesetiaan. Aku menjadi saksi betapa suburnya cinta dan kesetiaan kader di sepanjang jalan dakwah, di sepanjang bumi Allah.

Waktu, tenaga, pikiran, harta benda bahkan jiwa telah mereka sumbangkan dengan sepenuh kesadaran. Tidak ada yang terbayang dalam benak mereka, kecuali upaya memberikan yang terbaik bagi perjuangan. Berbagai kekurangan dan kelemahan mereka miliki, namun tidak menyurutkan semangat dan memadamkan gairah yang menggelora di dada. Mereka yakin akan janji-janji Ketuhanan, bahwa kemenangan itu dekat waktunya. Mereka menjemput kesetiaan dengan selalu bergerak, berbuat, beraktivitas di lapangan. Bukan duduk diam menunggu sesuatu, atau melamunkan sesuatu.

Suara-suara itu, tuduhan-tuduhan itu, caci maki itu, apakah masih ada artinya jika engkau telah menghirup nafas dari udara yang sangat jernih di wilayah dakwah ? Apakah masih membuatmu gelisah jika tubuhmu telah basah oleh keringat dari perjalanan panjang yang sangat menyenangkan di berbagai daerah ? Apakah masih membuatmu ragu jika matamu telah memandang kehijauan lahan-lahan yang kita semai di sepanjang bumi Allah ? Apakah masih membuatmu gundah jika hatimu telah bertaut dengan aktivitas kader-kader dakwah yang menjemput kesetiaan dengan berjaga dan bertahan di berbagai medan perjuangan ?

Sungguh, aku menjadi saksi kesetiaan mereka di sepanjang jalan dakwah. Aku menjadi saksi hasrat dan kecintaan mereka yang sedemikian besar kepada perjuangan dakwah. Aku juga berharap, kader-kader di daerah mengerti betapa besar cinta kami kepada lahan-lahan yang tumbuh bersemi. Aku selalu memohon perlindungan dan kekuatan kepada Allah, semoga Allah selalu melindungi dan menjaga dakwah dan para qiyadah. Aku selalu memohon kepada Allah, agar semangat dan gairah dakwah tidak pernah melemah. Ya Allah, beritahukan kepada kader-kader yang setia berjaga di garis kesadaran dan harapan, betapa besar cinta kami kepada mereka. Ya Allah sampaikan kepada para kader yang telah bekerja sepenuh jiwa, betapa hati kami selalu tertambat kepada mereka.

Beritahukan ya Allah, cinta kami sangat tulus untuk mereka. Selamanya.

Selamanya !

Wednesday 13 July 2011

Tuhan
Pagi ini kami ingin sekolah
Kami rindu pada madrasah kami yang indah
Kami rindu pada cerita Lubna dan Antarah
Tentu juga Sirah Rasulillah

Pagi ini kami ingin secuil roti
Kami ingin sepotong keju
Setetes susu
Dan sebutir Tin dan Zaitun

Pagi ini kami ingin belaian cinta
Ayah kami tercinta
Paman kami tercinta
Kakek kami tercinta

Pagi ini kami ingin matahari
Yang cerah menyinari gaza
Dan mengusir segala kecemasan jiwa

O Tuhan, apakah mereka akan merampas juga
Matahari kami, atau menutup Gaza
Tanpa matahari
Sehingga tak ada lagi pagi bagi kami

Tuhan
Biarlah mereka mengucilkan kami dari dunia
Asal setiap pagi
Kau masih tersenyum pada kami
Dunia tidak penting lagi bagi kami

Tuhan
Kami tidak pernah mengemis kemerdekaan pada siapapun
Karena kami telah memiliki kemerdekaan itu
Setiap kami menyebut nama-Mu
Dan setiap kami rukuk dan sujud kepada-Mu

Tuhan ini pagi ini kami tetap tersenyum kepada-Mu
Maka tersenyumlah kepada kami

(Puisi ini pernah dibacakan dalam Konferensi Internasional Pengajar Bahasa Arab Dunia Islam, di Universitas Al Azhar Indonesia, Juli 2010. Dibacakan kembali pada acara Asia-Pacific Community Conference for Palestine di Jakarta, 29 Juni 2011)


http://www.dakwatuna.com

Tuesday 12 July 2011


Sebuah perahu kayu berpenumpang tampak melintas di sungai nan jernih. Sepanjang jalan, para penumpang perahu benar-benar terbuai dengan pepohonan hijau yang memagari tepian sungai. Para penumpang yang berada di lantai atas ini benar-benar beruntung dengan pemandangan indah itu.

Dua lantai perahu penumpang itu memang punya harga sewa yang berbeda. Lantai atas lebih mahal dari yang di bawah. Bahkan mencapai dua kali lipat. Walau begitu, penumpang di lantai bawah masih bisa melihat pemandangan dari balik jendela kecil yang tertutup kaca.

Kelebihannya, penumpang lantai bawah bisa lebih asyik dalam kesunyian tidur. Tak ada suara burung, tak ada terik matahari, dan tak ada angin kencang. Kalau sudah tertidur, waktu menjadi tidak lagi panjang.

Suatu kali, masih dalam aliran sungai nan jernih, pompa air perahu macet. Krisis air minum pun terasa begitu cepat. Beruntungnya, para penumpang masih bisa menikmati segarnya air yang bisa mereka ambil langsung dari sungai yang mereka lewati. Tinggal ambil wadah dan tali, air pun bisa diperoleh.

Beberapa teriakan dari penumpang lantai bawah terus terdengar. “Hei, bagi kami air!” ucap para penumpang bawah. “Ya, kalian bisa ambil ke atas sini!” jawab para penumpang lantai atas.

Di sinilah persoalannya. Kalau penumpang lantai atas bisa mengambil langsung air, sementara yang di bawah mesti meniti anak-anak tangga agar bisa mencapai atas perahu. Dan ini begitu merepotkan.

Suatu malam, masih dalam perahu, beberapa penumpang di lantai bawah merasakan haus yang luar biasa. Kantuk yang mereka rasakan kadang menyelingi rasa haus itu. Saat itulah, rasa enggan menghinggapi mereka untuk bersusah payah menuju atas.

Seseorang dari mereka mengatakan, “Kenapa mesti repot ke atas, toh air yang kita butuhkan ada di kaki kita.” Dan ucapan itu pun seolah menyadarkan para penumpang lain kalau merekalah yang sebenarnya paling dekat dengan letak air daripada penumpang atas.

Salah seorang mereka pun berusaha keras melubangi dinding bawah perahu dengan sebuah linggis. Di benak mereka cuma satu: bagaimana bisa dapat air tanpa mesti susah payah ke atas. Karena toh, yang di atas pun tidak merasa perlu untuk berbagi dengan yang bawah.
**

Kebersamaan dalam sebuah wadah, apakah itu perusahaan, organisasi, dan rumah tangga; tidak cukup hanya meletakkan pandangan dari sudut diri sendiri.

Berlatihlah untuk bisa menangkap pandangan dari sudut pandang orang-orang yang bersama kita. Karena dengan begitulah, perahu kebersamaan akan bisa terus melaju ke arah tujuan yang diinginkan. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Sunday 10 July 2011

Dari Al-Fudhail bin Iyadh, ia berkata, seorang laki-laki menceritakan kepadaku: “Ada laki-laki yang keluar membawa benang tenun, lalu ia menjualnya satu dirham untuk membeli tepung. Ketika pulang, ia melewati dua orang laki-laki yang masing-masing menjambak kepal kawannya. Ia lalu bertanya, ‘Ada apa?’ Orang pun memberitahunya bahwa keduanya bertengkar karena uang satu dirham. Maka, ia berikan uang satu dirham kepada keduanya, dan iapun tak memiliki sesuatu.

Ia lalu mendatangi isterinya seraya mengabarkan apa yang telah terjadi. Sang isteri lalu mengumpulkan perkakas rumah tangga. Laki-laki itu pun berangkat kembali untuk menggadaikannya, tetapi barang-barang itu tidak laku. Tiba-tiba kemudian ia berpapasan dengan laki-laki yang membawa ikan yang menebar bau busuk. Orang itu lalu berkata kepadanya, ‘Engkau membawa sesuatu yang tidak laku, demikian pula dengan yang saya bawa. Apakah Anda mau menukarnya dengan barang (daganganku)?’ Ia pun mengiakan. Ikan itu pun dibawanya pulang. Kepada isterinya ia berkata, ‘Dindaku, segeralah urus (masak) ikan ini, kita hampir tak berdaya karena lapar!’ Maka sang isteri segera mengurus ikan tersebut. Lalu dibelahnya perut ikan tersebut. Tiba-tiba sebuah mutiara keluar dari perut ikan tersebut

Wanita itu pun berkata gembira, ‘Suamiku, dari perut ikan ini keluar sesuatu yang lebih kecil daripada telur ayam, ia hampir sebesar telur burung dara’.

Suaminya berkata, ‘Perlihatkanlah kepadaku!’ Maka ia melihat sesuatu yang tak pernah dilihatnya sepanjang hidupnya. Pikirannya melayang, hatinya berdebar. Ia lalu berkata kepad isterinya, ‘Tahukah engkau berapa nilai meutiara ini?’ ‘Tidak, tetapi aku mengetahui siapa orang yang pintar dalam hal ini’, jawab suaminya. Ia lalu mengambil mutiara itu. Ia segera pergi ke tempat para penjual mutiara. Ia menghampiri kawannya yang ahli di bidang mutiara. Ia mengucapkan salam kepadanya, sang kawan pun menjawab salamnya. Selanjutnya ia berbicar kepadanya seraya mengeluarkan sesuatu sebesar telur burung dara. ‘Tahukah Anda, berapa nilai ini?, ia bertanya. Kawannya memperhatikan barang itu begitu lama, baru kemudian ia berkata, ‘Aku menghargainya 40 ribu. Jika Anda mau, uang itu akan kubayar kontan sekarang juga kepadamu. Tapi jika Anda menginginkan harga lebih tinggi, pergilah kepada si fulan, dia akan memberimu harga lebih tinggi dariku’.

Maka ia pun pergi kepadanya. Orang itu memperhatikan barang tersebut dan mengakui keelokannya. Ia kemudian berkata, ‘Aku hargai barang itu 80 ribu. Jika Anda menginginkan harga lebih tinggi, pergilah kepada si fulan, saya kira dia akan memberi harga lebih tinggi dariku’.

Segera ia bergegas menuju kepadanya. Orang itu berkata, ‘Aku hargai barang itu 120 ribu. Dan saya kira, tidak ada orang yang berani menambah sedikitu pun dari harga itu!’ ‘Ya’, ia pun setuju. Lalu harta itu ditimbangnya. Maka pada hari itu, ia membawa dua belas kantung uang. Pada masing-masingnya terdapat 10.000 dirham. Uang itu pun ia bawa ke rumahnya untuk disimpan. Tiba-tiba di pintu rumahnya ada seorang fakir yang meminta-minta. Maka ia berkata, ‘Saya punya kisah, karena itu masuklah’. Orang itu pun masuk. Ia berkata, ‘Ambillah separuh dari hartaku ini. Maka, orang fakir itu mengambil enam kantung uang dan dibawanya. Setelah agak menjauh, ia kembali lagi seraya berkata, ‘Sebenarnya aku bukanlah orang miskin atau fakir, tetapi Allah Ta’ala telah mengutusku kepadamu, yakni Dzat yang telah mengganti satu dirhammu dengan 20 qirath. Dan ini yang diberikanNya kepadamu adalah baru satu qirath daripada-nya, dan Dia menyimpan untukmu 19 qirath yang lain.

www.dongengkakrico.com

Saturday 9 July 2011


Dunia pendidikan adalah dunia yang sangat dinamis, selalu bergerak, selalu terjadi perubahan dan pembaharuan. Sekolah seolah terus berpacu memunculkan dan mengejar keunggulannya masing-masing. Memasuki Era Globalisasi menjadi satu tantangan tersendiri bagi pengelola pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum dan sarana pendidikan mereka dengan berbagai teknologi canggih agar bisa menghasilkan siswa yang mampu bersaing di Era ‘Global Village’.

Ditengah begitu semangatnya berbagai lembaga pendidikan mengejar keunggulan teknologi, terbersit satu pertanyaan, ‘sebesar itu jugakah semangat kita untuk mengejar keunggulan karakter siswa-siswa kita?’

Mengapa Karakter?


Beberapa hadits berikut menunjukkan betapa pentingnya sekolah-sekolah kita untuk memperhatikan masalah pembentukan akhlak pada anak-anak didiknya:

innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq

Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. (HR Malik)

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Sekolah adalah tempat yang sangat strategis bahkan yang utama setelah keluarga untuk membentuk akhlak/karakter siswa. Bahkan seharusnya setiap sekolah menjadikan kualitas akhlak/ karakter sebagai salah satu Quality Assurance yang harus dimiliki oleh setiap lulusan sekolahnya.

Tentunya kita semua berharap siswa-siswi yang dididik di sekolah kita menjadi hamba Allah yang beriman, sebagaimana pemerintah kita mencanangkan dalam Pasal 3 UU No. 20/2003, bahwa:

‘Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’. Dan sekarang resapilah hadits berikut:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Jika ternyata baiknya akhlak menjadikan sempurnanya iman, maka tidak ada alasan bagi sekolah kita untuk menomor duakan keseriusan dalam upaya pembentukan akhlak/karakter dibanding keseriusan mengejar keunggulan teknologi. Bahkan yakinlah, bahwa jika anak didik kita memiliki akhlak/karakter yang baik, insya Allah merekapun akan lebih mudah kita pacu untuk mengejar prestasi lainnya.

Tak kurang, para peneliti, dan tokoh kelas dunia pun dengan jelas ikut menyuarakan pentingmya masalah pembentukan karakter ini:

Theodore Roosevelt, mantan presiden USA yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).

Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu dari tujuh dosa fatal, yaitu “education without character” (pendidikan tanpa karakter)

Beberapa hasil penelitian dan survey berikut mungkin akan membuat dahi kita berkerut:

90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah (Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Warung Internet Indonesia, Irwin Day. 25 Juli 2008. Media Indonesia)

Herien Puspitasari (Disertasi Doktor IPB), mempublikasikan hasil penelitiannya di Kompas Cyber Media 18/05/2006). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan pada tahun 2002-2003, dengan menggunakan responden sejumlah 667 siswa (550 siswa Sekolah Negeri & 117 siswa Sekolah Swasta), 540 putra dan 127 putri, semuanya berasal dari siswa kelas 2 SMA dan SMK di Bogor. Mendapatkan hasil yang mencengangkan: Dari 667 responden tersebut, tidak kurang 10 persen para responden sudah melakukan hubungan seks bebas!

Jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak .

Tentunya masih banyak data dan fakta lain yang bisa kita ungkap. Tapi data-data di atas cukup mewakili bagaimana potret anak usia sekolah di negeri ini.

Menurut Thomas Lickona (1992), tanda-tanda kehancuran suatu bangsa antara lain:

1. Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja

2. ketidak jujuran yang membudaya

3. semakin rendah rasa tidak hormat kepada kedua orang tua, guru dan figure pemimpin,

4. meningkatnya kecurigaan dan kebencian

5. penggunaan bahasa yang memburuk

6. penurunan etos kerja

7. menurunnya rasa tanggung-jawab individu dan warga negara

8. meningginya perilaku merusak diri

9. semakin kaburnya pedoman moral.

Jika kita cermati satu persatu tanda-tanda kehancuran di atas, berapa point yang sudah muncul di bangsa kita? Sepertinya kita sepakat bahwa seluruhnya sudah tampak di bangsa kita!

Akankah bangsa kita mengalami kehancuran? Jawabannya adalah ‘YA’ bila bangsa kita tidak melakukan perbaikan. Dan kita para pengelola sekolah dan para pendidik harus ikut melakukan langkah perbaikan. Inilah peran strategis yang harus kita ambil, MELAKUKAN PEMBINAAN AKHLAK UNTUK MENGHINDARKAN BANGSA DARI KEHANCURAN!

Peran Sekolah

“FithrataLlahil latii fatharan naasa ‘alaiha. Laa tabdiila likhalqiLlah.”

“…(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah…” (Ar Rum:30)

“Ilmu diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh dengan latihan menjadi santun.” (HR Bukhari)

Pendidikan menurut Pasal 1 Butir 1 UU 20/2003: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”

Pengertian Pendidikan Karakter

Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Membentuk karakter tidak semudah memberi nasihat, tidak semudah member instruksi, tetapi memerlukan kesabaran, pembiasaan dan pengulangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits yang telah dikutip sebelumnya:

“Ilmu diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh dengan latihan menjadi santun.” (HR Bukhari)

Sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral.

Pendidikan Karakter pada Sekolah Islam Terpadu (SIT)

Sekolah Islam Terpadu menjadikan pendidikan karakter sebagai pilar utama dalam proses penyelenggaraannya. Oleh karena itu, SIT mengembangkan prinsip-prinsip pendidikan sebagai berikut:

1. Menjadikan Islam sebagai landasan filosofis.

2. Mengintegrasikan nilai Islam ke dalam bangunan kurikulum.

3. Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran untuk mencapai optimalisasi proses belajar mengajar.

4. Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta didik.

5. Menumbuhkan biah solihah dalam iklim dan lingkungan sekolah: menumbuhkan kemaslahatan dan meniadakan kemaksiatan dan kemungkaran.

6. Melibatkan peran-serta orangtua dan masyarakat dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan.

7. Mengutamakan nilai ukhuwwah dalam semua interaksi antar warga sekolah.

8. Membangun budaya rawat, resik, rapih, runut, ringkas, sehat dan asri.

9. Menjamin seluruh proses kegiatan sekolah untuk selalu berorientasi pada mutu.

10. Menumbuhkan budaya profesionalisme

Nilai-nilai Islam menjadi inspirasi dan sekaligus pemandu utama dalam penyelenggaraan pendidikan di SIT. SIT meyakini bahwa pendidikan Islam akan mampu:

1. Membentuk sikap dan kepribadian yang kuat berdasarkan prinsip-prinsip nilai keilahiyahan. Dengan aqidah yang benar, seorang muslim akan mampu menunjukkan sikapnya yang tegar, tsabat, istiqomah dan selalu berfihak dan membela al Haq.

2. Memompa semangat keilmuan dan karya. Islam mengajarkan pemeluknya untuk selalu berfikir dan berkarya. Doktrin Islam adalah: ”sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling memberi manfaat bagi orang lain”

3. Membangun karakter/pribadi yang saleh : selalu menegakkan nilai-nilai dan praktek ibadah. Pendidikan agama Islam mendidik dan mendisiplinkan pemeluknya untuk selalu taat beribadah kepada Allah SWT. Dengan perilaku ibadah yang bersih, niscaya akan terbentuk karakter muttaqien, selalu menjauhi perilaku negatif dan destruktif

4. Membangun Sikap Peduli: Islam selalu mengajarkan sikap peduli kepada orang lain, hewan dan lingkungan. Sikap peduli akan melahirkan sikap yang selalu membangun dan memecahkan segala permasalahan sosial.

5. Membentuk pandangan yang visioner, berfikir, bekerja dan bertindak untuk kepentingan masa depan.

Bagaimana menerapkan pendidikan karakter di sekolah?

Menurut Ratna Megawangi, Founder Indonesia Heritage Foundation, ada tiga tahap pembentukan karakter:

J MORAL KNOWING : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat berperilaku baik

J MORAL FEELING : Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya.

J MORAL ACTION : Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior

Dengan tiga tahapan ini, proses pembentukan karakter akan jauh dari kesan dan praktik doktrinasi yang menekan, justru sebaliknya, siswa akan mencintai berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri.

Masih menurut Indonesia Heritage Foundation, ada 9 pilar karakter yang harus ditumbuhkan dalam diri anak:

1. Cinta Allah, dg segenap ciptaanNya

2. Kemandirian ,tanggung jawab

3. Kejujuran, bijaksana

4. Hormat, santun

5. Dermawan, suka menolong, gotong royong

6. Percaya diri, kreatif, bekerja keras

7. Kepemimpinan, keadilan

8. Baik hati, rendah hati

9. Toleransi, Kedamaian, kesatuan

Tips untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah

Berikut adalah tips untuk sukses menerapkan pendidikan berbasis karakter di sekolah:

Memiliki nilai-nilai yang dianut dan disampaikan kepada seluruh stake holder sekolah melalui berbagai media : buku panduan untuk orang tua (dan siswa), newsuntuk orang tua, pelatihan.

Staf pengajar dan administrasi termasuk tenaga kebersihan dan keamanan mendiskusikan nilai-nilai yang dianut, Nilai-nilai ini merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang diyakini sekolah.

Siswa dan guru mengembangkan nilai-nilai yang dianut di kelas masing-masing.

Memberikan dilema-dilema dalam mengajarkan suatu nilai, misalnya tentang kejujuran.

Pembiasaan penerapan nilai di setiap kesempatan

Mendiskusikan masalah yang terjadi apabila ada pelanggaran

Mendiskusikan masalah dengan orang tua apabila masalah dengan anak adalah masalah besar atau masalahnya tidak selesai

Dari semua komponen sekolah, yang paling berperan mensukseskan program pendidikan berbasis karakter di sekolah, adalah GURU. Tentunya diperlukan GURU BERKARAKTER untuk menghasilkan SISWA BERKARAKTER. Meski diperlukan kesabaran dan ketekunan, menghasilkan anak didik yang berakhlak dan berkarakter baiktentunya sangat membahagiakan, karena menjadi penyebab seseorang mendapatkan kebaikan itu lebih baik dari dunia dan seisinya!

Shintawati

Staf dept mutu JSIT Indonesia

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!