Monday 30 May 2011

Beberapa hari telah berlalu. Rasulullah saw berangkat meninggalkan Madinah menuju Tabuk. Di tengah hari yang sangat panas, Abu Khaitsamah pulang ke rumahnya. Ia tidak ikut berangkat ke Tabuk bersama dengan Rasulullah ketika itu.

Oleh: Muhith Muhammad Ishaq*

Sesampainya di rumah ia disambut dua orang istrinya yang duduk di pelaminan di rumahnya yang indah. Di hadapan istrinya itu telah dihamparkan sajian makanan kesukaannya. Tidak ketinggalan pula air penyejuk ruangan hingga mereka tidak kepanasan.

Melihat panorama yang sangat menggoda itu, Abu Khaitsamah tertegun di depan pintu rumahnya. Udara yang sejuk di dalam rumah, dua istri yang cantik di atas pelaminan, dan makanan kesukaan yang terhampar menyentakkan kesadarannya dalam titik klimak kemewahan.

Ia berkata dalam hati, menegur dirinya sendiri: “Rasulullah saw sedang disengat terik matahari, menahan terpaan angin gurun, sementara Abu Khaitsamah duduk manis di ruangan berpendingin, dengan makanan lezat tersaji, bersama istri cantik yang mendampingi, ini tidak adil”.

Kemudian ia membalikkan badan dan berkata: “Demi Allah saya tidak akan menyentuh seorangpun dari kalian, sebelum saya berjumpa dengan Rasulullah. Ayo kalian berdua siapkan perbekalan, saya hendak menyusul Rasulullah”.

Kedua istrinya melaksanakan perintah suaminya itu dengan cepat. Segera ia menuju ke tempat ontanya ditambat dan bergegas berangkat menyusul Rasulullah.

Setelah berhari-hari melintasi bukit batu, jalan terjal, dan gurun pasir seperti umumnya daratan Jazirah Arab, Abu Khaitsamah berhasil menemukan Rasulullah yang sudah sampai di Tabuk.

Begitulah kepekaan hati sahabat Rasulullah saw. Rasa cinta yang ada dalam hati mereka tidak memberi ruang baginya untuk berbeda situasi dengan Rasulullah dalam suka dan duka. Hati Abu Khaitsamah tidak bisa menerima kesenangan dunia yang diterimanya pada saat Rasulullah dan para sahabatnya berada dalam kesulitan situasi dan beratnya medan jihad di jazirah Arab.

Tidak seperti orang-orang berpenyakit hati yang merasa mendapatkan beban berat ketika merasakan sulitnya jihad, dan berkhayal seandainya ia masih berada di luar kota sehingga tidak ikut berjihad bersama Rasulullah. Orang-orang yang merasa senang dan mendapatkan lindungan Allah ketika tidak ikut terlibat dalam perjalanan jihad yang berat.

Di Madinah pada saat perjalanan perang Tabuk ini hanya tersisa orang-orang udzur, karena sakit, tua renta, anak-anak, para wanita, dan orang yang mendapatkan tugas khusus dari Rasulullah. Para sahabat Rasulullah memahami betul bahwa kemulian dirinya itu hanya ada pada amal perbuatannya bukan pada nikmat dan kesenangan yang diterimanya.

Dalam perjalanan ini pula Abu Khaitsamah berjumpa dengan Umair ibn Wahb al-Jumahi yang juga dalam perjalanan menyusul Rasulullah karena ketinggalan. Keduanya kemudian bersama-sama melintasi jalan panjang menuju Tabuk.

Ketika sudah mendekati Tabuk, Abu Khaitsamah meminta kepada Umair bin Wahb al-Jumahi: “Sesungguhnya saya punya dosa, maka silahkan engkau meninggalkan saya, sehingga nanti saya bertemu dengan Rasulullah SAW sendirian”.

Umair bin Wahb al-Jumahi setuju dengan permintaan itu, meskipun keduanya telah berhari-hari suka dan duka bersama dalam perjalanan, namun di ujung perjalan itu keduanya harus berpisah karena ada hal pribadi yang harus saling dihormati.

Umair bin Wahb al-Jumahi memahami privasi Abu Khaitsamah, dan Abu Khaitsamah juga tidak ingin melibatkan Umair bin Wahb dalam masalah pribadi yang dihadapinya. Salah satu bentuk ta’awun sesama sahabat yang sangat unik. Tidak masuk dalam masalah pribadi orang lain yang tidak ingin diintervensi, dan tidak ingin melibatkan orang lain dalam kesalahan pribadi.

Abu Khaitsamah berjalan agak lambat di belakang Umair bin Wahb. Ketika jarak semakin dekat ke Tabuk tempat Rasulullah dan para sahabat beristirahat, beberapa orang pasukan kaum Muslimin berkata: “Ada pengendara yang sedang mendekat”. Rasulullah menjawab, “Semoga dia itu adalah Abu Khaitsamah”.

Jarak Abu Khaitsamah dengan tempat Rasulullah beristirahat semakin dekat dan kaum Muslimin yang mengamatinya itupun kemudian berkata: “Betul, Wahai Rasulullah, dia Abu Khaitsamah”.

Perkenalan dan pergaulan Rasulullah yang sangat intensif dengan para sahabatnya sehingga bisa menebak dari jauh, sosok sahabatnya itu, ketika kaum Muslimin lain belum mengenalinya. Rasulullah mengenali dengan baik cara jalan para sahabatnya.

Jarak semakin dekat, wajah letih Abu Khaitsamah bisa dengan jelas terlihat, Rasulullah menyambutnya. Abu Khaitsamah menghadap dan memberikan salam kepada Rasulullah. Setelah menjawab salam, Rasulullah SAW bersabda: “Hampir saja, kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu”.

Abu Khaitsamah menceritakan pengalamannya sejak ketinggalan di Madinah tidak ikut berangkat ke Tabuk bersama Rasulullah, sambutan dua orang istri, dan kemewahan rumah tinggalnya sehingga ia menyusul Rasulullah ke Tabuk dengan lengkap.

Rasulullah mendengarkan dengan seksama cerita Abu Khaitsamah. Setelah selesai cerita Rasulullah mendoakan Abu Khaitsamah dengan doa kebaikan, dan semoga Abu Khaitsamah senantiasa dalam kebaikan.

Tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik. Selama masih ada kemauan kuat, maka kebaikan itu insyallah akan didapat. Pertolongan Allah biasanya diberikan kepada hamba-Nya yang beramal di jalannya, kemudian ada kesulitan yang menghadangnya. Tidak ada perjuangan tidak ada pertolongan. Wallahu a’lam.

Categories:

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!