dakwatuna.com - Cara terbaik memaknai ibadah adalah menyakini bahwa bahwa Allah SWT akan memanggil setiap Muslim untuk kembali pada-Nya, kapan saja, dan dimana saja. Karena itu, bisa saja Ramadhan ini merupakan yang terakhir.
Hal itu diungkapkan Surahman Hidayat, kepada Republika.co.id. “Kita harus pertimbangkan umur manusia dalam menyikapi datangnya bulan suci Ramadhan.”
Dikatakan Surahman, tidak ada yang tahu kapan setiap Muslim akan dipanggil sang Pencipta. Keyakinan itu secara otomatis akan memicu setiap Muslim untuk mengoptimalkan datangnya bulan suci Ramadhan dengan mengisi amalan-amalan ibadah yang disarankan.
Menurut Surahman, ibadah puasa merupakan sarana pemantapan spritual dan sosial setiap Muslim. Sebabnya, merupakan hal yang keliru apabila Ramadhan dipandang sama dengan 11 bulan berikutnya. “Kalau kita bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa akan terlihat manfaat yang diperoleh,” kata dia
Harus diakui, ibadah puasa memberikan tantangan yang tidak mudah bagi setiap Muslim. Akan tetapi, tantangan yang diberikan sesuai dengan kemampuan setiap Muslim dalam menyelesaikannya. Seandainya saja, umat Islam memiliki modal yang kuat berupa keimanan maka umat tidak akan mudah tergoda.
Surahman menjelaskan, modal keimanan tadi membutuhkan perencanaan. Melalui perencanaan itu, umat Islam dapat memposisikan puasa seperti apa. Dengan memposisikan puasa lalu disertai dengan usaha untuk merawatnya maka segala godaan berikut tantangan lain akan terhindar. “Yang dimaksud dengan perawatan itu adalah mengisi puasa dengan ibadah sebanyak mungkin,” kata dia.
Selain ibadah, puasa juga harus diisi dengan makanan yang sehat dan terukur. Maksudnya, kesan balas dendam yang umumnya menerpa sebagian Muslim harus dipinggirkan. Sebab, menurut dia, asupan makanan turut berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah puasa.
“Saya termasuk orang yang khawatir soal asupan makanan. Kenyang sedikit saja, melahirkan rasa malas untuk tarawih dan tadarus,” kata dia. Karena itu, di saat berbuka ia hanya mengkonsumsi apa yang diteladankan Nabi Muhammad SAW seperti air putih, kurma atau buah-buahan. Selesai berbuka, menyegerakan shalat Magrib lalu makan sedang. “Makan berat hanya pada sahur saja,” kata dia.
Berkat pola makan demikian, rasa kantuk tidak akan menyerang. Belum lagi, sikap malas yang menyusul kemudian. Sebabnya, kata dia, ketika berbuka umat harus memperhatikan sifat keutamaan dari makan dan minum yang masuk ke dalam tubuh. “Apakah dengan makan dan minum berlebihan memiliki keutamaan, tentu saja tidak,” kata dia.
Lantaran itu, ungkap Surahman, Nabi SAW sudah memperingatkan umatnya untuk menerapkan pola sepertiga dalam menjalankan ibadah puasa. Sepertiga yang dimaksud, sepertiga makan dan minum, sepertiga ibadah dan sepertiga nafas. ” Kalau hanya mengikuti hawa nafsu tidak ada manfaatnya,” ungkap dia.
Momentum Kejujuran
Satu hal yang begitu mengena bagi Surahman terkait datangnya bulan suci ramadhan. Hal tersebut adalah kejujuran. Menurut dia, prilaku jujur di Indonesia boleh dibilang mengkhawatirkan. “Satu hal yang penting dari ibadah puasa adalah menjaga kejujuran,” kata dia.
Dikatakan Surahman, kejujuran tengah menjadi barang langka. Kelangkaan itu terlihat dari banyaknya tindak korupsi yang merajalela. Urgensi kehadiran puasa mendadak penting guna melawan arus ketidakjujuran yang boleh dikatakan tidak terbendung.
“Adalah hal yang wajar bagi bangsa Indonesia, utamanya umat Islam untuk menjadikan momentum memberangus korupsi di tanah air dengan mengangkat kejujuran sebagai ujung tombak,” kata dia.
Karena itu, Surahman mengingatkan kepada umat Islam, makna puasa harus ditanamkan betul. Apalagi, ada keyakinan dalam agama Islam bahwa selama ramadhan, setan dan iblis dirantai sehingga tidak mengganggu manusia dalam menjalankan ibadah puasa.
“Momentumnya sudah pas. Kini, kembali kepada kita, sebagai umat Islam apakah momentum puasa bisa dimanfaatkan secara optimal,” kata dia
0 komentar:
Post a Comment