Mengajak orang lain untuk berbuat baik, meninggalkan kebiasaan buruk itu tidak bisa dikatakan mudah. Karena ini bertentangan dengan tabiat manusia yang cenderung suka enak, santai, bebas dan suka-suka. Manusia cenderung tidak suka diatur-atur oleh apa pun. Kecuali mereka yang memiliki ketundukan kepada Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka faham betul untuk merasakan bahagia dan sentausa adalah dengan mengikuti petunjuk yang telah diturunkan. Oleh karena itu, mereka tunduk kepada petunjuk itu demi kebahagiaan dalam kehidupannya. Rela mengekang nafsu dan tabiat santai, bebas, suka-suka karena itu semua berasal dari bisikan syetan yang hanya akan menjerumuskan pada keadaan jauh dari petunjuk.
Orang beriman selain tunduk dan patuh secara individu, memiliki tugas untuk menyebarluaskan petunjuk dari Allah swt itu kepada orang di luar dirinya agar kebahagiaan itu terwujud dalam kehidupan bersama. Proses menyebarluaskan inilah yang disebut dakwah. Dakwah itu ibarat jalan yang penuh duri. Tak mudah dilalui. Bisa mengakibatkan sakit pada diri. Tapi ia harus dilalui, agar bisa mencapai tujuan. Karena, kebahagiaan tak bisa diraih hanya dengan sholeh secara induvidu. Tetapi sosial.
Dalam proses mengajak, mengajarkan, menyebarluaskan petunjuk itu perlu seni. Perlu trik yang memungkinkan petunjuk itu bisa diterima orang yang memiliki kecenderungan suka enak, santai, bebas, tak mau diatur. Kalau tanpa seni, trik, dan tata cara yang cantik, orang-orang yang memang memiliki kecenderungan tersebut di atas justeru akan menjauh, kurang simpatik, bahkan memusuhi dan menghambat. Tentunya kita masih ingat kisah para Wali atau yang dikenal Wali Songo di tanah Jawa dalam berdakwah menyebarkan petunjuk dari Al Quran dan Sunnah. Mereka menghadapi masyarakat yang sudah lekat dengan keyakinan dan kepercayaan lama yang mendarah daging. Jelas, ajaran itu banyak yang bertentangan dengan ajaran dalam Al Quran dan Sunnah. Berbagai trik, seni berdakwah, maupun cara-cara nan cantik menjadikan dakwah yang mereka usung benar-benar menyebar luas ke seluruh penjuru Nusantara. Trik, seni berdakwah, tata cara nan cantik itu tentunya tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah itu sendiri. Mereka, para pendahulu dakwah di Nusantara tentunya faham betul tentang hal ini. Mereka ulama terkemuka, bukan hanya sekadar orang-orang yang mengaji satu, dua, atau tiga tahun kemudian seolah merasa sudah mafhum betul tentang halal haram.
Wali Songo itu ada yang utusan langsung dari Kekhalifahan Islam pada waktu itu ada pula ulama yang memang sudah menuntut ilmu ke Jazirah Arab langsung. Utusan dari kekhalifahan itu tentunya bukan orang sembarangan. Tentunya orang-orang pilihan. Sebutlah Maulana Malik Ibrahim, Jakfar Shodiq, Makdum Ibrahim dan lain-lain. Mereka ulama terkemuka. Mereka menghadapi kondisi masyarakat di Nusantara yang sudah berkeyakinan. Menganut kepercayaan meski tak sesuai dengan Al Quran dan Sunnah. Justeru di sinilah titik kesulitannya. Mereka harus berdakwah kepada orang yang sudah terisi keyakinannya. Sulit untuk mengubah keyakinan yang sudah mereka percaya turun temurun dan mendarah daging. Akhirnya Wali Songo berhasil memasukkan Islam, menancapkan dakwah di Nusantara dengan berbagai seni dakwah nan cantik. Hampir tanpa penaklukan dengan pedang. Dakwah dengan penuh kedamaian. Dan kita di era sekarang merasakan umat Islam sebagai umat terbanyak di bumi Nusantara ini.
Namun, upaya Wali Songo dalam berdakwah dengan berbagi media seperti kesenian wayang, gamelan, kidung atau tembang, dan prosesi-prosesi lainnya mendapat sorotan tajam dari orang-orang yang datang belakangan. Orang-orang yang tahu-tahu sudah berhadapan dengan masyarakat yang mayoritas muslim. Mereka menghakimi hanya dengan boleh dan tidak boleh. Haram dan halal. Ada tuntunannya (dari Rasul) atau tidak ada tuntunannya. Dengan mudah mereka membid’ah kan, mengharamkan apa-apa yang kadang hanya dijadikan sarana juru dakwah terdahulu yang mereka notabene menghadapi masyarakat yang berkeyakinan lain dan sudah mendarah daging. Wal hasil, banyak pertentangan di masyarakat yang kadang sampai memanaskan situasi kemasyarakatan yang harmonis.
Perlu disadari bahwa menuntun itu harus sesuai dengan kemampuan orang yang dituntun. Dakwah yang santun itu lebih mengena. Dakwah itu perlu trik, tata cara nan cantik. Dakwah itu bukan hanya menyebarkan halal haram, boleh tidak boleh, bid’ah atau bukan. Dakwah itu bukan hanya mengkafir-kafirkan. Dakwah itu bukan hanya menghakimi itu dosa itu berpahala. Dakwah itu perlu seni.